Indonesiabangsaku.com – MENGUAK setiap aksi radikalisme yang terjadi di Indonesia, praktis pendidikan digugat sebab dianggap sebagai salah satu penyebab utama.
Isu radikalisme yang mengintai kampus favorit di Indonesia ditengarai tidak hanya menyusup pada fakultas agama atau kegiatan rohani saja.
Tetapi juga masuk ke fakultas eksakta misalnya kedokteran dan kimia. Model pembelajaran yang terlalu membebankan siswa dengan penguasaan materi, kompetensi guru yang tidak memadai antara lain dianggap menjadi penyebabnya.
Selain itu ketidakpuasan mahasiswa
terhadap kinerja pemerintah menjadi salah satu manifestasi mudahnya
disusupi paham radikalisme ditambah lagi mahasiswa cenderung labil dan
memiliki sifat ingin tahu yang tinggi.
Perguruan tinggi sebagai
induk lahirnya pendidik dan aneka profesi lainnya sangat rawan terhadap
penyebaran aliran radikal. Hadirnya aliran radikal dalam institusi
pendidikan tentu tidak sekadar faktor eksternal.
Sangat sulit menghadirkan pendidikan berkualitas ketika guru sendiri memiliki pemahaman rumpang dan menjebak sebab menurut Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2018, ada 53,6% guru memiliki pandangan yang intoleran dan radikal.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamli mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa dan di luar Jawa ternyata tidak steril dari paparan paham radikalisme.
BNPT membeberkan di Indonesia
sejumlah PTN terkenal, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut
Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Universitas Airlangga (UA), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah
disusupi paham radikal.
Kondisi itu membuat Presiden Jokowi
mewacanakan agar pemilihan rektor langsung berada di bawah kontrolnya.
Adalah tugas rektor, dosen, dan guru untuk lebih mampu menawarkan
alternatif kegiatan dan sosialisasi nilai-norma sosial yang selalu
konformitas pada tatanan sosial yang penuh toleransi dan menghargai
perbedaan.
Tentu saja percepatan pengikisan habis aksi
radikalisme menjadi salah satu targetnya. Mengapa aliran radikal begitu
mudah menyelinap masuk bidang pendidikan?
Paham radikal masuk
melalui berbagai cara, yang paling sering terjadi melalui pengajian di
masjid kampus. Masjid kampus yang disasar untuk melakukan penetrasi dan
ajaran keagamaan melawan negara yang dilakukan kepada mahasiswa baru.
Hal tersebut terjadi pada mahasiswa baru yang tengah aktif-aktifnya dilingkungan kampus. Radikalisme juga tersebar melalui media kampus berbasis pamflet yang dibagikan secara cuma-cuma.
Mahasiswa-mahasiwa baru apalagi yang masuk ke universitas favorit akan sangat mudah disusupi pemahaman radikal dimana mereka masih asyik dengan dunia kampus dan ingin terlibat lebih intens terhadap segala urusan yang berorientasi kemahasiswaan.
Kilas balik beberapa tahun lalu bukti bahwa mahasiswa cukup dalam terlibat radikalisme. Pada 2010, dua mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti menyembunyikan teroris pelaku bom JW Mariot dan Ritz Carlton.
Setahun berikutnya seorang alumni UIN Syarif
Hidayatullah juga ditangkap terkait upaya pengeboman jalur pipa gas di
Serpong. Sementara puluhan mahasiswa lainnya dalam sejumlah laporan di
media nasional disebutkan menghilang setelah direkrut dan dibaiat masuk
ke dalam jaringan Negara Islam Indonesia atau NII.
Lembaga
pendidikan yang notabene merupakan habitat bagi perkembangan pemikiran
ilmu pengetahuan modern dan literasi kritis peserta didik perlu
disterilkan dari berbagai pengaruh buruk yang memungkinkan pelajar
mengembangkan sikap yang salah.
Kaum yang pandai tidak akan
mudah terpengaruh, kecuali kalau hal itu sudah diakui, diyakini, dan
diterima sebagai sebuah kebenaran. Mereka akui, ajaran yang mereka
terima telah mencapai tingkatan kesempurnaan yang nyaris digugat,
apalagi ditolak.
Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila
Pada sisi lain, kaum ‘radikal’ akan selalu mengukur kualitas
kebenaran ide dari transformasi kehidupan yang disajikan yang sudah
dilakukan.
Merevitalisasi proses pembelajaran nilai-nilai
Pancasila yang lebih sesuai dengan karakteristik generasi digital ialah
tantangan yang menjadi PR bagi lembaga pendidikan saat ini.
Revolusi mental pun diperlukan untuk menangkis masuk dan berkembangnya radikalisme di Indonesia. Melawan paham radikal tidaklah mungkin dilakukan hanya dengan mengandalkan pada pendekatan yang sifatnya kuratif dan punitif.
Di luar peran aparat, yang tidak kalah penting ialah bagaimana lembaga pendidikan mampu menawarkan counter culture yang efektif untuk melawan penyusupan paham radikal.
Bila muara akhir ialah kebaikan, jumpa antara pendidikan dan aksi radikalisme akan menjadi positif. Di satu pihak, pendidikan menjadi kian humanistis karena dilandasi kesadaran manusiawi bahwa selagi berada di bawah kaki langit, manusia masih akan terus mencari. Karena itu, dialog dan kebersamaan mencari merupakan media yang perlu dilewati. [***]
Komentar